jumat, 29 juni 2012 01:18 WIB
Harus Ada Pemahaman Standardisasi
SAAT ini kualitas musik pop Sunda mengalami
penurunan yang cukup tajam dibandingkan era tahun '90-an. Pada tahun
itu para produser bisa dibilang memiliki standar penilaian, mana yang
layak dan tidak. Sedangkan saat ini karya-karya lagu pop Sunda yang
dilempar ke pasaran, tidak lagi memikirkan kualitas musik itu sendiri.
Demikian diungkapkan Dose Hudaya pada diskusi "Perkembangan Bisnis Musik Pop Sunda" di kantor Redaksi Galura, Kamis (28/6). Dikatakan, tahun '90-an kualitas musik pop Sunda juga dapat terjaga karena sumber daya manusia (SDM) yang terpelajar. Artinya, sekarang ini orang yang tidak bisa menyanyi saja bisa eksis untuk menjadi penyanyi, dan orang yang tidak bisa membuat musik bisa terkenal menjadi pembuat musik. "Istilahnya asal punya uang sekarang orang bisa jadi artis," tandas Dose.
Potret demikian, lanjutnya, cukup baik jika hanya untuk menyemarakkan musik pop Sunda. Namun kalau untuk menjadi indikator perkembangan akan kualitas musik pop Sunda, itu apa bisa dikatakan layak. "Apa kita sebagai warga Sunda tidak malu?" katanya.
Untuk itu, menurut Dose harus ada pemahaman tentang standardisasi yang layak dalam pencitraan musik Sunda. Meski diakuinya di satu sisi produser sendiri saat ini sedang tiarap sehingga akhirnya bermunculan produk yang pegiatnya bukan orang yang bisa menyanyi atau membuat musik.
"Jika kondisi ini dibiarkan, bagaimana nasib musik pop Sunda ke depannya. Maka salah satu solusi yang kerap dilakukan para pegiat seni khususnya pop Sunda, antara lain dengan menggelar beberapa acara audisi untuk menemukan para penyanyi berbakat yang betul-betul berpotensi, tidak hanya ingin eksis semata. Hasil saringan audisi tersebut dilanjutkan dengan proses pembuatan karya yang dilempar ke pasaran. Nah untuk hasilnya, biarkan masyarakat yang menilai, mana karya yang layak untuk diapresiasi atau tidak," jelasnya.
Peran media
Senada dengan Dose, praktisi dan artis pop Sunda, Rika Rafika mengatakan merasa miris ketika banyak karya yang ada hanya asal jadi. Namun perlu diakui bermunculannya lagu-lagu pop Sunda, meski hanya asal jadi ini, menambah semarak musik pop Sunda.
"Oleh sebab itu, salah satu caranya harus ada standardisasi, juga di media untuk penyanyi yang akan dimunculkan. Pihak media bisa membuat beragam program untuk membedakan mana penyanyi pop Sunda yang kalitasnya bisa diperhitungan di antara penyanyi-penyanyi legendaris, dan mana penyanyi yang baru muncul. Dengan begitu masyarakat akan mulai tergiring untuk tidak langsung menilai, jika perkembangan kualitas musik pop Sunda mulai menurun," ungkapnya.
Meski diakuinya, media tidak bisa membatasi mana yang layak tampil atau tidak, karena semua orang punya hak untuk tampil. "Karena itu disiasati lewat program atau rubrik yang diangkat," tegasnya.
Berbeda dengan Dose dan Rika, praktisi musik pop Sunda Indra Ridwan mengatakan, bukan hanya media yang memiliki peran untuk mengantarkan mana musik yang berkualitas atau tidak. "Karena media sangat membantu untuk sisi pemasaran. Jadi media tak punya andil utama untuk menentukan kualitas musik pop menurun atau tidak di mata masyarakat," tegasnya.
Yang perlu ditekankan di sini terkait perkembangan musik pop Sunda adalah pegiatnya. Mulai dari penyanyi hingga produser harus benar-benar memiliki kecintaan terhadap musik pop Sunda. "Dengan begitu tidak akan ada yang namanya karya asal jadi. Meski akuinya itu sangat sulit," ujarnya.
Indra juga menegaskan, yang perlu menjadi sorotan saat ini adalah perkembangan musik pop Sunda itu sendiri, bukan segi kualitasnya. "Dan yang juga penting dan hingga sekarang belum bisa diselesaikan adalah pembajakan. Kerena hal itu juga memberikan pengaruh besar terhadap pekembangan musik pop Sunda," pungkasnya.
Demikian diungkapkan Dose Hudaya pada diskusi "Perkembangan Bisnis Musik Pop Sunda" di kantor Redaksi Galura, Kamis (28/6). Dikatakan, tahun '90-an kualitas musik pop Sunda juga dapat terjaga karena sumber daya manusia (SDM) yang terpelajar. Artinya, sekarang ini orang yang tidak bisa menyanyi saja bisa eksis untuk menjadi penyanyi, dan orang yang tidak bisa membuat musik bisa terkenal menjadi pembuat musik. "Istilahnya asal punya uang sekarang orang bisa jadi artis," tandas Dose.
Potret demikian, lanjutnya, cukup baik jika hanya untuk menyemarakkan musik pop Sunda. Namun kalau untuk menjadi indikator perkembangan akan kualitas musik pop Sunda, itu apa bisa dikatakan layak. "Apa kita sebagai warga Sunda tidak malu?" katanya.
Untuk itu, menurut Dose harus ada pemahaman tentang standardisasi yang layak dalam pencitraan musik Sunda. Meski diakuinya di satu sisi produser sendiri saat ini sedang tiarap sehingga akhirnya bermunculan produk yang pegiatnya bukan orang yang bisa menyanyi atau membuat musik.
"Jika kondisi ini dibiarkan, bagaimana nasib musik pop Sunda ke depannya. Maka salah satu solusi yang kerap dilakukan para pegiat seni khususnya pop Sunda, antara lain dengan menggelar beberapa acara audisi untuk menemukan para penyanyi berbakat yang betul-betul berpotensi, tidak hanya ingin eksis semata. Hasil saringan audisi tersebut dilanjutkan dengan proses pembuatan karya yang dilempar ke pasaran. Nah untuk hasilnya, biarkan masyarakat yang menilai, mana karya yang layak untuk diapresiasi atau tidak," jelasnya.
Peran media
Senada dengan Dose, praktisi dan artis pop Sunda, Rika Rafika mengatakan merasa miris ketika banyak karya yang ada hanya asal jadi. Namun perlu diakui bermunculannya lagu-lagu pop Sunda, meski hanya asal jadi ini, menambah semarak musik pop Sunda.
"Oleh sebab itu, salah satu caranya harus ada standardisasi, juga di media untuk penyanyi yang akan dimunculkan. Pihak media bisa membuat beragam program untuk membedakan mana penyanyi pop Sunda yang kalitasnya bisa diperhitungan di antara penyanyi-penyanyi legendaris, dan mana penyanyi yang baru muncul. Dengan begitu masyarakat akan mulai tergiring untuk tidak langsung menilai, jika perkembangan kualitas musik pop Sunda mulai menurun," ungkapnya.
Meski diakuinya, media tidak bisa membatasi mana yang layak tampil atau tidak, karena semua orang punya hak untuk tampil. "Karena itu disiasati lewat program atau rubrik yang diangkat," tegasnya.
Berbeda dengan Dose dan Rika, praktisi musik pop Sunda Indra Ridwan mengatakan, bukan hanya media yang memiliki peran untuk mengantarkan mana musik yang berkualitas atau tidak. "Karena media sangat membantu untuk sisi pemasaran. Jadi media tak punya andil utama untuk menentukan kualitas musik pop menurun atau tidak di mata masyarakat," tegasnya.
Yang perlu ditekankan di sini terkait perkembangan musik pop Sunda adalah pegiatnya. Mulai dari penyanyi hingga produser harus benar-benar memiliki kecintaan terhadap musik pop Sunda. "Dengan begitu tidak akan ada yang namanya karya asal jadi. Meski akuinya itu sangat sulit," ujarnya.
Indra juga menegaskan, yang perlu menjadi sorotan saat ini adalah perkembangan musik pop Sunda itu sendiri, bukan segi kualitasnya. "Dan yang juga penting dan hingga sekarang belum bisa diselesaikan adalah pembajakan. Kerena hal itu juga memberikan pengaruh besar terhadap pekembangan musik pop Sunda," pungkasnya.
(tri widiyantie/"GM")**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar